Konsep Martabat Tujuh Tentang Manusia dan Tuhannya

Konsep Martabat Tujuh Tentang Manusia dan Tuhannya

Martabat Tujuh adalah hubungan antara manusia dan Tuhannya yang berkaitan dengan penciptaan alam semesta dan kemusnahannya. Masyarakat kejawen dan kaum sufi islam menganut suatu paham atau konsep yang disebut martabat tujuh.

Konsep martabat tujuh ini berhubungan erat dengan paham tanazzul dan tajalli. Konsep martabat tujuh merupakan tingkatan-tingkatan perwujudan melalui tujuh martabat, yaitu:

  • Ahadiyah
  • Wahdah
  • Wahidiyah
  • Alam Arwah
  • Alam Mitsal
  • Alam Ajsam
  • Alam Insan

Para cendekiawan martabat tujuh di Jawa mengenal ungkapan “lha dudu iku iya iki, sejatine iku iya” (bukan itu iya ini, sesungguhnya memang iya), yang artinya bahwa hakikat ini dan itu adalah sama, itu-itu juga.

Ungkapan ini, menurut Haji Hasan Musthafa, seorang ulama dan pujangga Islam yang banyak menulis masalah agama dan tasawuf dalam bentuk guritan (pusisi yang berirama dalam bahasa Sunda).

Beliau menyebutkan “aing da itu, disebut itu da aing (apabila dikatakan aku kenyataannya itu, dan apabila dikatakan itu kenyataannya aku). Atas dasar pemahaman terhadap ungkapan-ungkapan inilah, banyak tokoh yang mengidentikkan ajaran martabat tujuh dengan wahdah al-wujud (manunggaling kawula Gusti).

Konsep ajaran martabat tujuh mengenai penciptaan alam manusia melalui tajjali Tuhan sebanyak tujuh tingkatan jelas tidak bersumber dari al-Qur’an. Sebab, dalam Islam, tidak dikenal konsep ber-tajjali. Islam mengajarkan tentang proses Tuhan dalam penciptaan makhluk-Nya dengan Alijad Minaj Adam, berasal dari tidak ada menjadi ada.

Sejarah Munculnya Konsep Martabat Tujuh

Konsep martabat tujuh di Jawa dimulai sesudah keruntuhan Majapahit dan digantikan dengan Kerajaan Demak Bintara yang menguasai Pulau Jawa. Pada awal perkembangannya, ajaran martabat tujuh di Jawa berasal dari konsep martabat tujuh yang berkembang di Tanah Aceh-terutama yang dikembangkan oleh para ahli sufi yaitu Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai, dan Abdul Rauf.

Ajaran Syatariyah

Ajaran Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf tampak besar pengaruhnya dalam perkembangan kepustakaan Islam kejawen. Pengaruh Abdul Rauf berkembang melalui penyebaran ajaran tarekat Syatariyah yang disebarkan oleh Abdul Muhyi (murid Abdul Rauf) di Tanah Priangan. Ajaran tarekat Syatariyah segera menyebar ke Cirebon dan Tegal. Dari Tegal, muncul gubahan Serat Tuhfah dalam bahasa Jawa dengan sekar macapat yang ditulis sekitar tahun 1680.

Sampai saat ini sejarah menyimpulkan, dengan cara menggali informasi pada masa lalu. Ajaran martabat tujuh pertama kali dikemukakan oleh Ibnu Fadhilah, seorang sufi dari India. Ajaran ini dipengaruhi oleh Ibnu ‘Arabi yang diadopsi oleh para sufi di Tanah Jawa, salah satunya oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita. Menurut ajaran martabat tujuh, Tuhan menampakkan diri dalam tujuh tingkatan atau martabat, sebagaimana telah disebutkan di atas.

Tingkatan Martabat Tujuh

Seperti yang saya utarakan diatas, berikut ini tingkatan-tingkatan dari martabat tujuh:

Martabat Ahadiyah

Martabat pertama adalah martabat Ahadiyah yang diungkapkan sebagai Martabat Lata’ayyun atau al-Ama (tingkatan yang tidak diketahui).

Martabat Ahadiyah merupakan martabat tertinggi ketuhanan yang digambarkan sebagai Zat yang tidak bisa disebut dengan nama apa pun. Inilah Tuhan sejati bagi semua manusia yang tidak memandang bangsa dan agama. Lebih Lengkap Tentang Martabat Ahadiyah Silahkan klik Disini <<<

Martabat Wahidiyah

Martabat kedua adalah Wahidiyah atau al-Wahdah, yaitu al-Ta’ayyun Awal. Tingkat perbedaan pertama atau awal ada dalam tingkatan ini. Artinya, pada tingkatan ini mulai terlihat adanya batas perbedaan. Meskipun ada tingkat perbedaan awal, namun Zat-Nya masih dalam keadaan universal yang menyatu dalam alam ketuhanan-Nya, yang disebut ai-Marta bah lIahiyyah. Lebih Lengkap Tentang Martabat Wahidiyah Silahkan klik Disini <<<

Martabat Wahadiyah

Martabat ketiga di dalam martabat tujuh adalah Wahadiyah atau yang biasa diungkapkan dengan kata-kata A’yan Thabitah (realitas-realitas terpendam), hakikat Adam, Ma’iumat lIahiyah (ketentuan yang bersifat ketuhanan), alTa’ayyun al-Thani (tingkatan perbedaan kedua), al- Ta’ayyunat al-Kuliyyah (realitas-realitas yang universal).

Pada tingkatan ini, Zat-Nya ber-tajjali lewat nama-namaNya yang dikenal dengan Asma’ul Husna, di mana Tuhan mulai muncul dalam al-A’yan Thabitah atau realitas-realitas terpendam yang sudah tidak mengandung kejamakan. Di sini, segala sesuatu yang terpendam sudah dibedakan dengan tegas dan terperinci, meskipun Zat-Nya belum muncul dalam wujud kenyataan. Allah dalam alam Wahadiyah mulai memperkenalkan namanama-Nya.

Kalimat yang luhur ditandai dengan kalimat syahadat, yaitu kalimat pengetahuan tentang Diri -Nya, di mana pengertian kalimatnya dibagi dua. Kalimat pertama adalah pengetahuan tentang hakikat Allah yang mencipta jagat raya. Sedangkan, pengetahuan yang kedua yaitu tentang Muhammad. Lebih Lengkap Tentang Martabat Wahadiyah Silahkan klik Disini <<<

Alam Arwah

Martabat yang keempat adalah alam al-Arwah (alam ruh) yang hampa bagi manusia, yang juga dinamakan sebagai alam al-Malakut al-Adna (alam yang terdiri dari akal dan jiwa yang rendah), awwal al-Tanazzulat li’l-Dhat al-Mujarrad al-Basit (alam peninggalan terhadap kehampaan yang menengah). Hakiki alam arwah dimulai dengan wujud nurani yang disebut af’al, yang sifatnya kudrat kuasa. Zat Nur Muhammad yang agung mendahului nama dan penciptaan arwah. Nur Muhammad juga dinamakan rasa. Hakikatnya adalah Rasul Allah, yang sudah menyatu, tunggal. Lebih Lengkap Tentang Alam Arwah Silahkan klik Disini <<<

Alam Mitsal

Martabat kelima dari martabat tujuh adalah Alam Mitsal adalah alam perencanaan tentang perkembangan manusia, di mana tiap diri insan ada di dalam ilmu Allah. Alam ini adalah alam ide dan merupakan perbatasan antara alam Arwah dan alam Jisim. Dan, alam Mitsal adalah sebagai awal wujud fisik manusia serta makhluk lainnya. Lebih Lengkap Tentang Alam Mitsal Silahkan klik Disini <<<

Alam Ajsam

Martabat keenam adalah Alam Ajsam atau alam jasmani. Alam ini juga disebut sebagai bagian dari al-Tanazzulat li’l- Dhat (peninggalan bagi zat). Wujud alam Ajsam berbentuk segi empat yang dihuni oleh jasmani dalam bentuk halus. Alam ini teramat luas, sehingga tidak diketahui di mana
batas-batasnya, yang mengetahui luas serta batas-batasnya hanyalah Allah Yang Maha Mengetahui. Meski wujudnya dalam keadaan gaib, tetapi alam ini sudah menampakkan bentuk lahir yang ketiga, yaitu wujud yang sudah dapat dilihat dengan Mata Batin. Lebih Lengkap Tentang Alam Ajsam Silahkan klik Disini <<<

Alam Insan Kamil

Martabat ketujuh adalah Alam Insan Kamil, yakni alam manusia dalam kesempurnaannya. Alam ini disebut juga sebagai Akhir al-Tanazzulat (akhir peninggalan). Di dalam alam ini, Insan Kamil adalah wakil Allah di bumi untuk mengelola alam beserta segala isinya. la juga bergelar sebagai khalifah di bumi. Lebih Lengkap Tentang Alam Insan Kamil Silahkan klik Disini <<<

Demikianlah konsep ajaran martabat tujuh. Dengan memahami konsep martabat tujuh ini, kita menjadi tahu bagaimana hubungan antara manusia dengan Tuhannya dalam konsep kaum sufi dan kejawen. Semoga Bermanfaat. Wassalamualaikum Wr Wb