Aliran Ilmu Kejawen – Pada Pembahasan sebelumnya kita telah membahas secara panjang lebar mengenai seluk beluk mistik kejawen hingga para tokoh mistik kejawen beserta ajaran-ajarannya.
Namun, tak lengkap rasanya jika kita tidak mengenal aliranaliran kejawen yang ada di nusantara. Untuk itulah, pada bab ini, secara khusus kita akan membahas mengenai hal tersebut.
Dari sekian banyak aliran kejawen yang masih dan pernah eksis di Tanah lawa, ada lima aliran kejawen yang paling besar dan terkenal, yakni Sapto Darmo, Hardapusara, Susila Budi Darma (Subud), Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu), dan Paguyuban Sumarah. Siapakah mereka dan seperti apa ajaran-ajaran mereka?
Aliran – Aliran Ilmu Kejawen yang ada di Indonesia
Aliran Kejawen Sapto Darmo
Sapto Darmo atau Sapta Darma merupakan salah satu Aliran Ilmu Kejawen yang cukup besar. Sapto Darmo adalah yang termuda dari kelima gerakan kebatinan terbesar di Jawa yang didirikan pada tahun 1955 oleh seorang guru agama bernama Hardjosaputro, yang kemudian mengganti namanya menjadi Panuntun Sri Gutomo.
Berbeda dengan keempat organisasi lain yang akan kita bahas pada bab ini, Sapto Darmo beranggotakan orang-orang dari daerah pedesaan dan para pekerja kasar yang tinggal di kota-kota.
Kendati demikian, para pemimpinnya hampir semua priyayi. Buku yang berisi ajarannya adalah kitab Pewarah Sapto Darmo. Nama Sapto Darmo diambil dari bahasa Jawa, sapto yang berarti tujuh dan darmo yang berarti kewajiban suci. Jadi, Sapto Darmo artinya tujuh kewajiban suci.
Selengkapnya tentang ajaran sapto darmo silahkan klik Halaman Aliran Kejawen Sapto Darmo.
Aliran Kejawen Hardapusara
Hardapusara adalah Aliran Ilmu Kejawen yang tertua di antara kelima aliran kejawen terbesar di Tanah Jawa. Aliran ini didrikan pada tahun 1895 oleh Kyai Kusumawicitra, seorang petani di Desa Kemanukan, dekat Purworejo.
Konon, ia mendapatkan ilmu dengan menerima wangsit dan ajaran- ajarannya semula disebut kawruh kasunyatan gaib. Mulamula, para pengikutnya adalah para priyayi dari Purworejo dan beberapa kota lain di daerah Bagelan.
Aliran ini dahulu pernah berkembang dan mempunyai cabang-cabangnya di berbagai kota di Jawa Tengah, Jawa timur, dan Jakarta. Jumlah anggotanya konon sudah mencapai beberapa ribu orang. Ajaran-ajarannya termaktub dalam dua buah buku yang oleh para pengikutnya sudah hampir dianggap keramat, yaitu Buku Kawula Gusti dan Wigati.
Aliran Kejawen Susila Budhi Dharma (Subud)
Salah satu Aliran Ilmu Kejawen terbesar lainnya yang ada di Tanah Jawa adalah Susila Budhi Dharma atau yang disingkat dengan SUBUD. Aliran ini didirikan pada tahun 1925 di Semarang dan pusatnya berada di Jakarta. Aliran Susila Budhi Dharma ini tidak mau disebut budaya kebatinan. Mereka menamakan diri “pusat latihan kejiwaan”.
Aliran kebatinan yang beranggotakan ribuan orang ini tersebar di berbagai kota di seluruh Indonesia dan mempunyai cabang di luar negeri. Para pengikutnya berasal dari berbagai negara, ada orang Asia, Eropa, Australia, dan Amerika.
Doktrin ajaran aliran ini dimuat dalam buku berjudul Susila Budhi Dharma. Selain itu, aliran ini juga menerbitkan majalah berkala bernama Pewarta Kejiwaan Subud. Salah satu aliran kepercayaan asli Indonesia bernapaskan Islam kejawen ini sudah menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Jauh sebelum era globalisasi dan pasar bebas, Susila Budhi Dharma telah tersebar di delapan puluh negara dengan anggota dua puluh ribu orang. Susila Budhi Dharma didirikan oleh almarhum R.M. Muhammad Subuh Sumohadiwijoyo.
Aliran kejawen ini mulai menyebar ke luar negeri sejak tahun 1954, dibawa oleh seorang berkebangsaan Inggris yang beragama Islam, Husein Rofe. Sementara, Muhammad Subuh Sumohadiwijoyo memulai lawatan ke luar negerinya pada tahun 1957, dan semasa hidupnya ia telah berpuluh-puluh kali berkunjung ke berbagai negara di dunia.
Aliran Kejawen Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu)
Pagguyuban Ngesti Tunggal atau lebih terkenal dengan nama Pangestu adalah sebuah budaya kebatinan lain yang cukup luas jangkauannya. Paguyuban ini didirikan oleh Soenarto, yang konon sekitar tahun 1932-1933 menerima wangsit yang oleh kedua orang pengikutnya dicatat kemudian diterbitkan menjadi buku Sasangka Djati.
Pangestu didirikan di Surakarta pada bulan Mei 1949. Anggotanya kini berjumlah 50.000 orang yang tersebar di berbagai kota di Jawa, terutama berasal dari kalangan priyayi. Namun demikian, anggota yang berasal dari daerah pedesaan juga banyak, khususnya yang tinggal di pemukiman transmigrasi di Sumatera dan Kalimantan.
Majalah yang dikeluarkan paguyuban ini adalah Dwijawara, yang merupakan tali pengikat bagi para anggotanya yang tersebar di seluruh nusantara. Asal-usul mengenai ajaran Paguyuban Ngesti Tunggal tidak terlepas dari riwayat hidup pendirinya, R. Soenarto Mertowardojo. Mertowardojo dilahirkan pada tanggal 21 April 1899 di desa Simo, Kabupaten Boyolali, Surakarta, sebagai putra keenam dari keluarga R. Soemowardojo.
Sejak kecil, ia tidak diasuh oleh orang tua kandungnya, tetapi dititipkan untuk tinggal dan dibesarkan oleh orang lain (dalam bahasa Jawa disebut ngenger). Di dalam buku Sabda-Sabda Pratama yang diterbitkan oleh Proyek Penerbitan dan Perpustakaan Pangestu, dikatakan bahwa pada tanggal14 Februari 1932 , R. Soenarto menerima wahyu pertama ketika melakukan shalat daim. Shalat daim adalah doa terus-menerus untuk mencapai tingkat pengetahuan yang sempurna.
Aliran Kejawen Paguyuban Sumarah
Paguyuban Sumarah lahir di kota yang menjadi markas pemerintahan Republik Indonesia selama masa revolusi. Layaknya “bangsa” yang baru memproklamasikan diri, Sumarah tampil secara terbuka pada tahun 1945 meski baru menjadi sebuah organisasi resmi pada tahun 1950.
Gerakan ini dibayangkan dalam relung kesadaran kaum muda masa revolusi pada penghujung tahun 1940-an. Jika dilihat dari asalnya, akar Sumarah menghunjam pada pengalaman para mistikawan Jawa dari generasi yang termatangkan pada akhir Perang Dunia I, yaitu mereka yang telah mengenyam pendidikan Belanda.
Paguyuban Sumarah terorganisasi lewat gelombang perjuangan pemuda yang sama yang mengejawantahkan (menyebarkan kebudayaan jawa) bangsa ini. Paguyuban Sumarah merupakan organisasi besar yang dimulai sebagai suatu gerakan kecil, dengan pemimpinnya bernama R.Ng. Sukirno Hartono dari Yogyakarta.
la mengaku menerima wahyu pada tahun 1935. Pada kahir tahun 1940- an, gerakan itu mulai mengalami kemunduran, namun berkembang kembali pada tahun 1950 di Yogyakarta. Jumlah anggotanya kini sudah mencapai 115.000 orang, baik yang berasal dari golongan priyayi maupun dari kelas-kelas masyarakat lain.
Demikian ulasan saya tentang berbagai macam Aliran Ilmu Kejawen yang ada di Indonesia, sebenarnya masih banyak lainya, namun yang paling berpengaruh dan terkenal ada 5 diatas. Semoga dengan penjelasan saya dapat memberikan Anda ilmu yang bermanfaat. Wassalamualaikum
CATATAN = Saya (Ki Bagus Wijaya) Tidak mengajarkan Ajaran Kejawen dan Tulisan saya ini hanya sebatas Pengetahuan saja. Jika Anda Meyakini tentang Ajaran Kejawen ini, itu adalah Hak Anda. Sekali lagi, saya tidak menyediakan Fasilitas atau Wadah Apapun yang berkenaan dengan ajaran ini. Saya memandang Semua Ajaran Kejawen hanya sebatas Kebudayaan dan Tradisi Saja.