Falsafah Hidup – Sebelum kita Membahas dengan tentang Falsafah Jawa, kita Akan membahas tentang Teori-teori Kepemimpinan.
Macam-Macam Falsafah Hidup Budaya Jawa Tentang Kehidupan
Di dalam budaya Jawa sebenarnya sangat sarat dengan Falsafah Hidup (ular-ular). Salah satunya adalah Hasta Brata, teori kepemimpinan yang berisi tentang hal-hal yang disimbolisasikan dengan berbagai benda atau kondisi alam, antara lain:
- Surya (matahari). Matahari memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan. Hal ini melambangkan bahwa seorang pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negaranya.
- Candra (bulan). Bulan memancarkan sinar di tengah kegelapan malam. Hal ini melambangkan bahwa seorang pemimpin hendaknya mampu memberi semangat kepada rakyatnya, baik di tengah suasana suka maupun duka.
- Kartika (bintang). Bintang memancarkan sinar kemilau dan berada di tempat tinggi sehingga dapat dijadikan pedoman arah. Ini melambangkan bahwa seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan untuk berbuat kebaikan.
- Angkasa (langit). Langit itu luas tak terbatas, sehingga mampu menampung apa saja yang datang padanya. Ini melambangkan bahwa seorang pemimpin hendaknya mempunyai ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri dalam menampung pendapat rakyatnya yang bermacam-macam.
- Maruta (angin). Angin selalu ada di mana-mana tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang kosong. Ini melambangkan bahwa seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat dan martabatnya.
- Samudra (Iaut/air). Betapapun luasnya, permukaan laut selalu datar dan bersifat sejuk menyegarkan. Ini mengandung makna bahwa seorang pemimpin hendaknya menyayangi rakyatnya.
- Dahana (api). Api mempunyai kemampuan membakar semua yang bersentuhan dengannya. Ini bermakna bahwa seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan kebenaran secara tegas tanpa pandang bulu.
- Bhumi (bumi/tanah). Bumi bersifat kuat dan murah hati, serta selalu memberi hasil bagi siapa pun yang mau merawat dirinya. Hal ini melambangkan bahwa seorang pemimpin hendaknya bermurah hati (melayani) kepada rakyatnya serta tidak mengecewakan kepercayaan yang diberikan rakyat kepadanya.
Dalam teori kepemimpinan yang lain, ada beberapa falsafah Hidup yang digunakan agar setiap pemimpin memiliki sikap yang tenang dan wibawa, sehingga masyarakatnya dapat hidup tenang dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari.
Baca Juga: Sangkan Paraning Dumadi – Ilmu sangkan paraning dumadi
Salah satu falsafah itu adalah Aja gumunan, aja kagetan, Ian aja dumeh. Maksudnya, sebagai seorang pemimpin hendaknya janganlah terlalu terheran -heran (gumun) terhadap sesuatu yang baru (meskipun sebenarnya sangat heran), jangan menunjukkan sikap kaget jika ada halhal di luar dugaan, dan jangan sombong (dumeh).
Intinya, falsafah ini mengajarkan tentang menjaga sikap dan emosi bagi semua orang, terutama pemimpin. Falsafah sebagai seorang anak buah pun ada dalam ajaran kejawen, yang bertujuan agar seorang bawahan dapat kooperatif dengan pimpinan dan tidak mengandalkan egoisme pribadi, terlebih mempermalukan atasan.
Dan, salah satu falsafah yang banyak digunakan adalah Kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni, kena takon ning aja ngrusuhi. Maksudnya, boleh cepat namun jangan mendahului (sang pimpinan), boleh pintar tetapi jangan menggurui (pimpinan), boleh bertanya namun jangan menyudutkan pimpinan.
Intinya, seorang anak buah jangan bertindak yang mempermalukan pimpinan, meskipun ia mungkin lebih mampu dari sang pimpinan. Sama sekali falsafah Hidup ini tidak untuk menghambat karier seseorang dalam bekerja, tetapi inilah kode etik atau norma yang harus dipahami oleh setiap anak buah demi menjaga citra pimpinan.
Penyampaian pendapat tidak harus dengan mempermalukan, menggurui, dan merepotkan pimpinan, ada cara-cara di luar itu yang lebih baik.
Sementara itu, dalam kehidupan umum ada sebuah falsafah kejawen yang menjelaskan tentang the right man on the right place (orang yang baik adalah orang yang mengerti tempatnya), yaitu Ajining diri saka pucuke lathi, ajining raga saka busana. Artinya, harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan sebaiknya seseorang dapat menempatkan diri sesuai dengan busananya (situasinya).
Sehingga, tak heran jika seorang yang ucapannya baik dan pandai menempatkan dirinya akan dihargai oleh orang lain. Falsafah hidup agar tidak mencampuri dan memasuki dunia yang bukan dunianya ini, pada dasarnya mengajarkan suatu sikap yang dinamakan profesionalisme, yang mungkin agak jarang bisa kita jumpai saat ini.
Baca Juga: Memahami Islam Kejawen – Akulturasi Budaya Islam dan Jawa
Kontroversi Seputar Islam Kejawen
Persoalan Islam kejawen. Sebenarnya, keberadaan Islam kejawen hingga saat ini masih menimbulkan kontroversi. Itu artinya, ada perbedaan pendapat mengenai status aliran Islam kejawen ini.
Bagi mereka yang pro (mendukung), tentu aliran ini dianggap sah-sah saja tanpa menyalahi ajaran Islam. Namun, bagi mereka yang kontra (menolak), maka aliran ini dianggap sesat dan menyesatkan.
Nah, yang menjadi persoalan, jika memang Islam kejawen itu sesat dan kafir, lantas mengapa para wali (khususnya Sunan Kalijaga) yang nota bene adalah gurunya para wali di Tanah Jawa, menggunakan kejawen sebagai media dakwah penyebaran Islam? Tentu, masing-masing dari kita memiliki jawaban yang berbeda tentang masalah ini.
Demikian Ulasan Saya tentang Falsafah Hidup jawa Islam Kejawen. Semoga dengan begini Anda lebih bijak dalam memandang sesuatu. Wassalamualaikum Wr Wb.