Islam Kejawen – Pada dasarnya, Islam tidak mengenal istilah atau ajaran kejawen. Secara bahasa maupun istilah, di dalam alOur’an dan Hadits tidak ditemukan penjelasan tentang kejawen. Banyak versi yang mengatakan kejawen muncul seiring dengan datangnya para wali (Wali Songo) ke Tanah
Jawa dalam rangka menyebarkan ajaran Islam.
Ketika itu, para wali melakukan penyebaran agama dengan cara yang halus, yaitu memasukkan unsur budaya dan tradisi Jawa agar mudah diterima serta dipahami masyarakat kala itu. Inilah, menurut sebagian kalangan, yang menjadi cikal bakal munculnya Islam kejawen.
Islam Kejawen adalah akulturasi kebudayaan Jawa dengan Agama Islam, sehingga pelaksanaan Ritual Jawa menggunakan Cara yang Islami.
Jawa dan kejawen seolah tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kejawen bisa jadi merupakan suatu sampul atau kulit luar dari beberapa ajaran yang berkembang di Tanah Jawa semasa zaman Hinduisme dan Buddhisme. Dalam perkembangannya, penyebaran Islam di Jawa juga dibungkus oleh ajaran-ajaran terdahulu, bahkan terkadang melibatkan aspek kejawen sebagai jalur perantara yang baik bagi penyebarannya.
Islam Kejawen Lahir Dari Para Wali
Oleh Wali Songo, unsur-unsur dalam Islam berusaha ditanamkan dalam budaya-budaya Jawa, mulai dari pertunjukan wayang kulit, dendangan lagu-lagu Jawa, ular-ular (petuah berupa filsafat), cerita-cerita kuno, hingga upacara-upacara tradisi yang dikembangkan khususnya di Kerajaan Mataram (Yogyakarta / Surakarta).
Semua itu merupakan budaya kejawen yang diadaptasi ke dalam Islam. Dalam pertunjukan wayang kulit, yang paling dikenal adalah cerita tentang Serat Kalimasada (Iembaran yang berisi mantra / sesuatu yang sakral) yang cukup ampuh dalam melawan segala keangkaramurkaan di muka bumi.
Dalam cerita tersebut dikisahkan bahwa si pembawa serat itu akan menjadi sakti mandraguna. Tetapi, sampai menjelang akhir cerita, tidak ada tokoh yang tahu isi serat tersebut. Namun demikian, di akhir cerita, rahasia dari serat itu pun dibeberkan oleh sang dalang.
lsi Serat Kalimasada berbunyi, “Aku bersaksi tiada Tuhan Selain Allah dan Aku bersaksi Muhammad adalah utusan-Nya,” yang tak lain adalah isi dari kalimat syahadat. Salah satu contoh cerita wayang yang menarik adalah cerita Sunan Kalijaga dan Raja Puntadewa dari Amarta.
Suatu ketika, Sunan Kalijaga berjumpa dengan seseorang yang telah sangat uzur yang mengaku dirinya bernama Puntadewa. Orang tua itu telah jemu hidup dan mengaku sudah berusia berabad-abad serta tak bisa mati karena tidak seorang pun mau membacakan kalimat Serat Kalimasada yang dimilikinya. la lalu menanyakan kepada Sunan Kalijaga yang bijaksana, perihal jalan menuju kematian.
Sunan Kalijaga kemudian meneliti surat itu dan didapati bahwa isinya tak lain adalah kalimat syahadat, pengakuan iman orang Islam. Sunan Kalijaga pun membacakannya untuk Puntadewa, dan Puntadewa akhirnya bisa meninggal dengan damai, terbebas dari ikatan ketidaktahuan.
Nah, dengan reka yang halus tersebut, yaitu kesamaan antara bunyi kata “Kalimasada” dan kata Arab “kalimah syahadat”, orang Jawa membuat ikatan kesinambungan antara dua masa sejarah yang tampaknya berbeda, namun bagi mereka pada hakikatnya sama.
Dalam melakukan pertunjukan wayang pun, para wali selalu mengadakannya di halaman masjid, yang di sekelilingnya diberi parit melingkar berair jernih. Adapun guna parit ini tak lain adalah untuk melatih para penonton wayang untuk wisuh atau mencuci kaki mereka sebelummasuk masjid-simbolisasi dari wudhu yang disampaikan secara baik.
Baca Juga: Apa Itu Pusaka Dalam Budaya Kejawen
Lir-Ilir Salah Satu Tembang Islam Kejawen
Pada perkembangan selanjutnya, para wali juga menyebarkan lagu-Iagu bernuansa simbolisasi yang kuat. Salah satu lagu yang terkenal adalah karangan Sunan Kalijaga, yaitu lagu “Lir-Ilir”.
Memang, tidak semua syair menyimbolkan suatu ajaran Islam, mengingat diperlukannya suatu keindahan dalam mengarang sebuah lagu. Sebagian arti yang kini banyak digali dari lagu ini adalah sebagai berikut:
- Tak ijo royo-royo tak senggoh penganten anyar. Ini adalah sebuah deskripsi mengenai para pemuda.
- Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekna kanggo seba mengko sore. Cah angon adalah simbolisasi dari manusia sebagai khalifah fil-ardh atau pemelihara alam bumi ini (angon bumi). Penekno blimbing kuwi mengibaratkan buah belimbing yang memiliki lima segi membentuk bintang. Kelima segi itu adalah pengerjaan rukun Islam (yang lima) dan shalat lima waktu. Lunyu-Iunyu penekno berarti tidak mudah untuk bisa mengerjakan keduanya (rukun Islam dan shalat lima waktu) dan jalan menuju ke surga memang tidak mudah. Adapun kanggo sebo mengko sore artinya untuk bekal di hari esok (kehidupan setelah mati).
- Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane. Artinya, selagi masih banyak waktu selagi muda, dan ketika tenaga masih kuat, maka lakukanlah (untuk beribadah).
Sebenarnya, masih banyak penafsiran dari lagu “lIir-lIir”, namun secara umum sama, yaitu membumikan agama, mengajak beribadah dengan tidak lupa untuk tetap menyenangkan para pengikutnya yang baru. Dalam lagu-Iagu Jawa, ada gendhing bernama Mijil, Sinom, Maskumambang, Kinanthi, Asmaradhana, Megatruh, dan Pocung. Semuanya menceritakan perjalanan hidup seorang manusia.
- Gending Mijil yang berarti keluar atau lahirnya seorang jabang bayi dari rahim ibu,
- Sinom yang diartikan sebagai seorang anak muda yang bersemangat untuk belajar.
- Maskumambang yang berarti seorang pria dewasa yang telah cukup umur untuk menikah atau Kinanthi yang berarti seorang wanita dewasa yang telah cukup umur untuk menikah. Proses berikutnya yaitu pernikahan atau katresnan antar keduanya (pria dan wanita dewasa) yang disimbolkan dengan Asmaradhana.
- Hingga akhirnya, Megatruh (megat artinya bercerai atau terpisah, sedangkan ruh artinya roh atau jiwa seseorang). Megatruh ini merupakan proses sakaratul maut seorang manusia. Bagi umat beragama Islam, tentu dalam prosesi penguburannya, jenazah harus dikafani dengan kain putih, dan mungkin inilah yang disimbolkan dengan pocung (atau pocong).
Semua jenis gendhing ditata apik dengan syair-syair yang beragam, sehingga mudah dan selalu pas untuk didendangkan pada dasarnya. Selain itu, banyaknya filsafat Jawa yang berusaha diterjemahkan oleh para wali menunjukkan bahwa Wali Songo. Dalam mengajarkan agama, selalu dilandasi oleh budaya yang kental.
Hal ini sangat dimungkinkan, karena masyarakat Jawa yang menganut budaya tinggi akan sulit untuk meninggalkan budaya lamanya ke ajaran baru, walaupun ajaran tersebut sebenarnya mengajarkan sesuatu yang lebih baik.
Baca Juga: Sangkan Paraning Dumadi – Ilmu sangkan paraning dumadi
Beberapa Pendapat Tentang Islam Kejawen
Membahas keterkaitan antara kejawen dengan ajaran Islam, banyak tokoh yang berpendapat. Menurut Pakar Budaya, kejawen sangat berbeda dengan ajaran Islam. Istilah Islam kejawen muncul setelah para wali (Wali Songo) menyebarkan ajaran Islam. Mereka memasukkan unsur tradisi dan budaya untuk memudahkan penyebaran agama Islam.
Dalam pandangannya, kejawen dan Islam adalah wujud sinkretisasi yang pada akhirnya menjadi tradisi yang dijalankan oleh orang-orang Jawa hingga saat ini.
Beda dengan Pakar tadi, seorang ustadz yang memiliki perhatian khusus terhadap penyimpangan akidah, mengemukakan bahwa kejawen tidak jelas asalnya. Banyak yang mengatakan kejawen muncul pertama kali setelah datangnya Sunan Kalijaga ke Tanah Jawa.
Kala itu, Sunan menyebarkan agama lewat pementasa wayang dan seni tradisi masyarakat Jawa. Dari situ terdapat penyatuan tradisi budaya Jawa dan Islam, sehingga muncul istilah kejawen. Namun, penjelasan tersebut juga tidak banyak disediakan dalam literatur sejarah.
Lagi pula, ritual yang dilakukan masyarakat kejawen dalam aplikasi kehidupannya harus dilihat lebih dalam, karena dikhawatirkan menyimpang dari ajaran agama Islam.
Hukum Tentang Islam Kejawen
Dalam kaidah Islam, jika budaya itu berlangsung dan melanggar sisi tauhid, maka itu menjadi haram. Namun, jika budaya itu digunakan hanya sebatas praktik-praktik muamalah, maka itu dibolehkan.
Dengan demikian kita tidak perlu saling menyalahkan dan hanya melihat dari sebelah sisi saja. Kita Wajib Menjaga Keimanan kita serta menjaga warisan budaya agar tetap lestari. Demikian Ulasan Saya, semoga memberikan ilmu yang bermanfaat. Wassalamualaikum Wr Wb.