Kejawen – Ada beberapa hal yang membedakan mistik kejawen dengan agama, ajaran, atau mistik-mistik lainnya. Jadi ilmu ini merupakan sebuah kebudayaan, maka jangan sekali-kali Anda menyalah artikan.
Perbedaan Kejawen dan Agama Dilihat dari Panduannya
Kejawen tentu saja tidak memiliki kitab suci sebagaimana layaknya agama-agama yang Ada. Kejawen merupakan pandangan hidup yang sudah turun temurun ribuan tahun melalui proses interaksi antara manusia (jagad kecil/mikrokosmos) dengan jagad raya jagad besar/makrokosmos).
Manusia dapat membaca rumus-rumus serta hukum alam yang ada dan berlaku meliputi tata kosmos. Pengetahuan akan rumus-rumus dan hukum alam lama-kelamaan mengkristal menjadi tatanan nilai kehidupan manusia dalam berhubungan dengan lingkungan alam dan seluruh makhluk.
Nilai yang menghasilkan kebijaksanaan disebut juga nilai kearifan lokal atau local wisdom. Karena itu, “kitab” bagi spiritual Jawa adalah rangkaian tata kosmos yang penuh dengan pola keseimbangan dan keselarasan yang harmonis. Semua itu dapat dibaca dan dilihat melalui bahasa alam. Lazimnya disebut sebagai sastro jendro, atau segala kejadian dan peristiwa alamiah yang di dalamnya memuat hukum sebab-akibat yang merupakan ketentuan alamiah.
Hukum sebab-akibat dan ketentuan alamiah yang berlaku di jagad raya ini biasanya disebut hukum alam, atau kodrat alam yang dapat menjadi barometer dan petunjuk hidup bagi manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Selain itu, kejawen juga mampu melakukan asimilasi dan sinkretisme dengan nilai-nilai agama yang pernah ada di bumi nusantara. “Kitab” kejawen adalah hidup itu sendiri. Hidup yang meliputi jagad gumelar, terdiri dari kehidupan sehari-hari, kesejatian di dalam diri, dan apa yang ada di dalam lingkungan alam sekitarnya. Semua itu disebut sebagai kitab sastra jendra. Cara membacanya bukan dengan ucapan lisan, melainkan dengan perangkat ngelmu titen yang berlangsung turun-temurun. Untuk membaca kitab sastra jendra dengan ngelmu titen, indra yang digunakan adalah indra keenam atau indra batin. Keberhasilannya ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam mengolah rahsopongraso,
yakni rasajati atau rahsa sejati.
Kejawen Bersifat Fleksibel dan Mudah berbaur
Di samping nilai-nilai kearifan lokal yang adi luhung, kejawen menjadikan nilai-nilai “impor” yang dinilai berkualitas sebagai bahan baku yang dapat diramu dengan nilai kearifan lokal. Keuntungannya, justru terjadi proses penyempurnaan seperangkat nilai dalam pandangan hidup Jawa atau kejawen. Jika didefinisikan, mistik kejawen merupakan hasil dari interaksi nilai-nilai kearifan lokal yangterjadi sejak zaman kuno pada masa kebudayaan spiritual animisme, dinamisme, dan monotesime hingga saat ini.
Sikap terbuka, menghargai, dan toleransi, serta dasar spiritual cinta kasih sayang membuat kejawen mudah menerima anasir asing yang positif. Berbeda dengan nilai agama yang bersifat statis, Paten, dan anti perubahan, nilai-nilai dalam falsafah hidup Jawa bersifat fleksibel dan selalu berusaha mengolah nilai-nilai kebudayaan asing yang masuk ke Nusantara, misalnya Buddha, Hindu, Islam, Kristen, dan sebagainya.
Yang terjadi bukanlah kebangkrutan nilai-nilai falsafah Jawa itu sendiri, sebaliknya justru terjadi penyempurnaan seiring perjalanan waktu. Sampai-sampai, terdapat acuan, kalau nilai agama masuk sampai mendarah- daging, pandangan hidup Jawa bahkan mbalung-sungsum sehingga tidak pernah lapuk dan selalu eksis. Tidak hanya pada masyarakat usia tua, bahkan masyarakat usia muda banyak pula yang diam-diam menghayati dan mengakui fleksibilitas serta kedalaman falsafah kejawen. Seperti kekuatan misterius, terkadang semangat penghayatan dirasakan tiba-tiba muncul dengan sendirinya seperti panggilan darah.
Ritual Yang Berbeda
Hal yang berbeda lainnya dalam mistik kejawen adalah ritual yang dilakukan oleh penghayat falsafah hidup Jawa. Walaupun latar belakang keagamaan masyarakat Jawa berbeda-beda, namun mereka memiliki unsur kesamaan dalam tata laksana ritual Jawaisme. Perbedaannya hanya terletak pada bahasa yang digunakan dalam doa atau mantra. Namun, hakikat dari ritual sebenarnya sama saja, yakni bertujuan untuk selamatan.
Selamatan adalah tata laku untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan yang Mahasuci, maka di dalam ritual, banyak terdapat uba rampe atau syarat-syarat sesaji yang di dalamnya banyak sekali mengandung maksud permohonan kepada Tuhan.
Sebagai contohnya, pada saat bulan Ruwah, yang bagi masyarakat Jawa merupakan bulan arwah, dilaksanakan acara selamatan nyadran. Pada saat bulan Ruwah, tepatnya satu bulan menjelang bulan puasa, hendaknya orang memuliakan para arwah leluhurnya, mendoakannya agar mendapat tempat yang mulia, luhur, dan suci. Maka, dibuatlah ketan, kolak, dan kue apam, yang bermakna sedaya kalepatan nyuwun pangapunten-mohon ampunan atas segala kesalahan semasa hidup. Apam berarti afiuwwun, yaitu lambang permohonan ampunan kepada Tuhan.
Kemudian, dilanjutkan acara nyekar atau ziarah dan gotong royong membersihkan serta merawat makam para leluhur sebagai wujud tindakan nyata rasa berbakti dan memuliakan pepundennya. Sebab, bagi masyarakat mistik Jawa, berbakti kepada orang tua dilakukan tidak saja selama masih hidup, namun saat sudah meninggal dunia pun, anak turun tetap harus berbakti kepadanya. Selain itu, tidak ketinggalan pula acara bersih-bersih desa, sungai, hutan, sawah, dan ladang sebagai bentuk kesadaran diri untuk selalu menghargai alam semesta sebagai anugerah terindah Tuhan yang Maha Pemurah.