Ilmu Kejawen – Bagi Anda yang tinggal atau lahir di tanah jawa pasti masih memakai kebudayaan jawa, atau minimal masih menghormati. Memang hal ini tidak bisa dipisahkan dari masyarakat jawa, bagaimana tidak setiap orang tua selalu menurunkan kebudayaan tersebut.
Asal Usul Ilmu Kejawen
Asal usul kejawen sebenarnya bermula dari dua tokoh misteri, yaitu Sri dan Sadono. Sri sejatinya adalah penjelmaan Dewi Laksmi, istri Wisnu, sedangkan Sadono adalah penjelmaan dari Wisnu itu sendiri. Itulah sebabnya, jika ada anggapan bahwa Sri dan Sadono adalah kakak Beradik, kebenarannya tergantung dari mana kita meninjau. Namun, kaitannya dengan hal ini, Sri dan Sadono sesungguhnya adalah suami-istri yang menjadi cikal bakal kejawen. Maka, dalam berbagai ritual mistik kejawen, keduanya selalu mendapat tempat khusus. Dewi Sri dipercaya sebagai Dewi Padi, Dewi Kesuburan.
Dewi Sri dan Wisnu, menurut Tantu Panggelaran, memang pernah diminta turun ke arcapada untuk menjadi nenek moyang di Jawa. Dalam Babad Tanah Jawi juga dijelaskan bahwa orang pertama yang membabad (menempati/tinggal) Tanah Jawa adalah Batara Wisnu. Sumber ini meneguhkan sementara bahwa nenek moyang masyarakat Jawa memang seorang dewa. Dengan demikian, kaum kejawen sebenarnya berasal dari keturunan orang yang tinggi tingkat sosial dan kulturnya. Selanjutnya, Dewi Sri dianggap menjelma ke dalam diri tokoh Putri Daha bernama
Dewi Sekartaji atau Galuh Candrakirana, sedangkan Sadono menjadi Raden Panji. Keduanya pernah berpisah, namun akhirnya bertemu kembali. Menurut beberapa sumber, pertemuan Sri dan Sadono atau Panji dan Sekartaji terjadi di Gunung Tidar, Magelang, Jawa Tengah. Tempat itu kemudian oleh Sadono dan Sri diberi tetenger tandal, dengan menancapkan Paku Tanah
Jawa.
Hal ini sekaligus untuk mengokohkan Tanah Jawa yang sedang berguncang. Dan, sejak itu, Tanah Jawa kembali tenang. Paku tersebut kelak dinamakan Pakubuwana (Paku Bumi). Pakubuwana inilah yang membuat orang Jawa tenang, sehingga keturunan Sri dan Sa dono menjadi banyak.
Hanya saja, keturunan mereka ada yang baik dan ada yang buruk. Maka, Batara Guru segera menyuruh Semar dan Togog (putra dewa) ke Gunung Tidar. Semar disuruh mengasuh keturunan Sri dan Sa dono yang baik-baik, sedangkan Togog mengikuti keturunan Sri dan Sadono yang angkara murka. Togog dan Semar pun akhirnya menuruti perintah itu, karena merasa Batara Guru sebagai rajanya. Dari kisah-kisah mistik yang telah kita bahas terse but, jelas menggambarkan bahwa sejak dahulu kala, masyarakatkejawen memang sudah banyak berkenalan dengan mistik.
Dengan kata lain, paham mistik telah mengitari mereka.
Baca Juga : Mistik Jawa – Asal Usul Mistik Jawa
Karakter Ilmu Kejawen
Pada umumnya, orang Jawa percaya bahwa semua penderitaan akan berakhir bila telah muncul Ratu Adil. Kepercayaan akan benda-benda bertuah serta melakukan slametan merupakan upaya orang Jawa untuk melakukan harmonisasi terhadap alam sekelilingnya. Selain itu, inti ajaran kejawen adalah amemayu hayuning bawana, yang dimuat dalam Kakawin Arjuna Wiwaha (Mpu Kanwa, 1032).
Menjelaskan ajaran ini, Mpu Kanwa menggambarkan tugas seorang pimpinan yang harus memperbaiki dan memakmurkan dunia, seperti dinyatakan dalam Pupuh V bait 4-5. Sunan Pakubuwana IX (1861-1893) menggubah bait tersebut dalam Serat Wiwaha Jarwa menjadi “Amayu jagad puniki kang parahita, tegese parahita nenggih angecani manahing Iyan wong sanagari puniki” (Melindungi dunia ini dan menjaga kelestarian parahita, arti parahita ialah menyenangkan hati orang lain di seluruh negeri ini). Tugas hidup amemayu hayuning bawana, oleh Ki Ageng Suryamentaram dan Ki Hajar Dewantara, dikembangkan menjadi mahayu hayuning sarira, mahayu hayuning bangsa, mahayu hayuning bawana (memelihara dan melindungi keselamatan pribadi, bangsa, dan dunia) Tugas amemayu hayuning bawana jelas merupakan kewajiban bagi setiap orang sebagai pemimpin.
Bisa disimpulkan bahwa kejawen sudah melekat hampir keseluruh masyarakat jawa, lihat saja slogan kepolisian, slogan TNI , slogan “Bhineka Tunggal Ika”, dan banyak lainnya.